Danau Tempe: Sejarah, Budaya Bugis, dan Tantangan Lingkungan

Menelusuri keajaiban Danau Tempe sambil melihat ekosistem dinamis, budaya nelayan Bugis, dan tantangan lingkungan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Unaaha, Akalami.com – Danau Tempe merupakan danau tektonik yang terhampar melintasi tiga kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), dan Kabupaten Soppeng.

Danau ini dianggap sebagai salah satu danau purba berusia jutaan tahun yang terbentuk bersamaan dengan daratan pulau Sulawesi dan berada di atas lempeng benua Australia dan Asia.

Adapun luas danau secara keseluruhan adalah sekitar 350 km2. Hal ini menjadikan danau tempe menempati posisi danau terluas kedua yang berada di Sulawesi, sekaligus sebagai danau terbesar ketiga di Indonesia.

Uniknya meski ukuran luasnya melampaui danau-danau populer seperti Danau Linting di Sumatera dan Danau Ranu Manduro di Mojokerto, kedalaman air danau yang membentang di tiga kabupaten ini hanya berada disekitaran 5 meter saja. Hal ini di sinyalir karena adanya proses pendangkalan yang terjadi disepanjang tahun. 

Disisi lain sebagai danau purba yang luasnya mencapai 13 ribu hektare, danau tempe juga dikenal memiliki keberagaman spesies ikan air tawar komsumsi dari yang umum hingga tergolong jarang ditemui di tempat lain alias langka, Namun sayangnya ekspansi beberapa jenis ikan seperti ikan sapu-sapu mulai menjadi ancaman bagi ekosistem dan kehidupan nelayan di sekitar danau.

Namun, terlepas dari itu semua fakta bahwa danau tempe sebagai salah satu pesona wisata yang ada di sulawesi tak dapat di pungkiri, terbukti keberadaannya mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Melengkapi pembahasan tentang Danau Tempe, berikut ini fakta data dan cerita danau terbesar ketiga di Indonesia ini.

Asal Usul Nama Danau Tempe

Kawasan danau tektonik ini merupakan kawasan yang memiliki tanah yang subur, oleh karenanya sangat cocok untuk di olah menjadi lahan pertanian. Selain itu, aktivitas pertanian di wilayah ini menurut beberapa warga sudah berlangsung sejak lama bahkan mungkin sudah ada sejak abad ke-8 masehi.

Berbagai macam hasil bumi dapat tumbuh dengan baik di kawasan ini, bahkan hasil pertanian yang paling menonjol dan melimpah dibanding beberapa wilayah lainnya hingga abad 14 adalah kacang merah.  Dimana saat itu kacang merah merupakan salah satu hasil bumi yang paling diminati oleh kalangan bangsa Eropa dan Rusia.

Suku Bugis yang mendiami kawasan danau sendiri menyebut kacang merah dengan nama ‘Cempe’ dari bahasa bugis Kacang Merah. Inilah kemudian yang diduga bergeser penyebutannya menjadi kata ‘Tempe’ entah karena faktor penulisan, salah mendengar, salah menyebut, dll.

Yang pastinya kata tempe hingga saat ini tidak tersedia di dalam kamus Bahasa Bugis. Kata ‘Tempe’ bagi masyarakat bugis ‘Selain Nama Danau’ kataTempe hanya dikenal sebagai makanan berbahan dasar kedelai  yang diperkenalkan oleh masyarakat suku Jawa.

Danau Penghasil Ikan Air Tawar Terbesar di Dunia

Danau Tempe disebut sebagai danau penghasil ikan air tawar komsumsi terbesar di dunia. Meski pernyataan ini belum jelas darimana sumbernya, akan tetapi keberadaan ribuan nelayan yang menyandarkan kebutuhan hidupnya sepanjang tahun di danau ini sebagai pencari ikan bisa menjadi acuan betapa melimpahnya jumlah ikan air tawar yang ada di danau ini.

Melimpahnya Ikan di Danau Tempe bukan saja menutupi kebutuhan komsumsi masyarakat Kabupaten Wajo akan ikan air tawar, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat wilayah beberapa kota besar di Indonesia seperti Makassar, Samarinda, Palu, Balikpapan dll. Bahkan pemasaran ikan air tawar dari danau ini dikabarkan juga beberapa tahun belakangan ini sudah mulai menembus Asia, benua Eropa hingga Amerika.

Populasi Terbesar Ikan Bungo

Dalam sebuah jurnal, di sebutkan bahwa Ikan Bungo, Ikan Betutu atau Gabus Malas adalah salah satu ikan dengan populasi terbesar yang ada di Danau Tempe. Ikan ini bernilai ekonomis cukup tinggi namun sayangnya beberapa tahun belakangan mulai mengalami penurunan populasi. Hal ini disebabkan  beberapa faktor seperti tingginya tingkat eksploitasi dan perubahan kondisi lingkungan

Sebagai informasi, Ikan Bungo oleh sebagian suku bugis khususnya yang bermukim di wilayah Sumpa’baka, dusun yang berada di bawah wilayah administratif Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, tidak untuk di komsumsi. Hal ini erat kaitannya dengan kearifan budaya dan nilai-nilai yang di wariskan turun temurun.

Ekosistem Dinamis Danau Tempe

Danau Tempe merupakan danau banjir yang mengalami perubahan bentang alam sesuai musim. Pada musim penghujan, Danau Tempe bisa mencapai luas 26 ribu hektar, bahkan mencapai 47 ribu hektar jika hujan terus-menerus. Pada musim kemarau, kompleks ini terbagi menjadi tiga danau: Danau Tempe, Danau Sidenreng, dan Danau Taparang Lapompaka (Danau Buaya).

Danau besar ini menerima pasokan air utama dari Sungai Bila dan Sungai Walanae serta 28 anak sungai lainnya. Curah hujan tinggi di hulu kedua sungai ini mempengaruhi debit air danau. Danau terbesar kedua di Pulau Sulawesi ini juga menjadi hulu bagi Sungai Cenranae yang mengalir ke laut.

Saat curah hujan tinggi baik di hulu maupun hilir, debit air Danau bisa meninggi hingga membanjiri sekitarnya. Danau Tempe tidak memiliki kawasan hutan yang memadai di sekitarnya, kecuali pada daratan antara Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang berupa hutan rawang.

Masalah Pendangkalan dan Eceng Gondok

Setiap tahun, Danau Tempe mengalami masalah pendangkalan hingga 30 cm, terutama akibat sedimentasi tanah dan lumpur dari sungai dan anak sungai yang mengairi danau. Pendangkalan ini menyebabkan banjir di kawasan pemukiman saat musim hujan.

Pertumbuhan eceng gondok yang cepat dan luas juga menjadi permasalahan, merusak pemukiman sekitar danau. Pemerintah Daerah setempat membangun tiang kayu sepanjang 100 meter untuk mengatasi masalah ini. Penduduk Penduduk asli sekitar Danau Tempe masyarakat etnis Bugis yang beragama Islam.

Rumah Apung dan Kehidupan Nelayan Bugis

Mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan dan tinggal di rumah apung di permukaan danau. Kondisi ini mengharuskan mereka memiliki dua rumah, satu di daratan dan satu apung di danau. Adat lokal mengatur aturan pemanfaatan dan perlindungan danau.

Penduduk asli sekitar danau ini adalah masyarakat etnis Bugis yang beragama Islam. Mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan dan tinggal di rumah apung di permukaan danau. Kondisi ini mengharuskan mereka memiliki dua rumah, satu di daratan dan satu rumah apung di permukaan danau. 

Pemimpin Adat dan Upacara Mistis Danau Tempe

Adat lokal mengatur aturan pemanfaatan dan perlindungan danau. Aturan adat di kawasan danau mencakup pemanfaatan danau, larangan-larangan, dan upacara adat. Pemimpin adat, atau macoa tappareng, berperan sebagai pemimpin nelayan.

Larangan-larangan melibatkan waktu menangkap ikan, penyeberangan mayat, mencuci kelambu di danau, dan larangan lainnya. Pelanggaran akan dikenai sanksi, seperti upacara adat Maccerak Tappareng yang diselenggarakan oleh pelaku.

Adat Tradisi dan Warisan Budaya Danau Tempe

Upacara Maccerak Tappareng adalah festival tahunan untuk menyucikan danau terbesar ke-2 di sulawesi ini. Upacara ini melibatkan penyembelihan kerbau, lomba dayung perahu, karnaval, lomba permainan rakyat, musik tradisional, dan tari bissu.

Selain itu, masyarakat juga melakukan upacara individu untuk mesin atau perahu baru.

Perikanan, Pertanian, dan Pariwisata di Sekitar Danau Tempe

Danau Tempe merupakan salah satu tempat wisata di Sulawesi Selatan yang memiliki berbagai fungsi dalam mensupport roda perekonomian kabupaten wajo seperti bidang perikanan, pertanian, dan juga transportasi.

Meski demikian Pemanfaatan ini masih sangat tergantung pada tinggi rendahnya debit air danau.

Baca Juga: Pesona Sunset di Pulau Senja Sulawesi Tenggara

Cek Berita dan Artikel terbaru di Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *