Jakarta, Akalami.com – Politik uang atau money politic menjadi salah satu fenomena yang sedang ramai dibicarakan terutama menjelang berlangsungnya pesta demokrasi disuatu wilayah, termasuk pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang akan di gelar 14 Februari Mendatang.
Pusat Edukasi Anti Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan bahwa politik uang adalah upaya untuk mempengaruhi pilihan penyelenggara pemilu dengan imbalan materi.
Menurut KPK, praktik ini merupakan salah satu bentuk suap yang pada akhirnya dapat menghasilkan pemimpin yang hanya peduli pada kepentingan pribadi dan golongan, bukan kepada masyarakat yang memilihnya.
Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK menyatakan bahwa money politic telah menyebabkan politik menjadi berbiaya mahal. Dana digunakan untuk memperdagangkan suara dan membayar sumbangan politik kepada partai dengan jumlah yang fantastis. Praktik ini terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa.
Namun, ada satu hal menarik dari fenomena politik uang. Menurut survei yang dilakukan oleh Praxis Indonesia, praktik politik uang tidak menentukan pilihan mahasiswa. Survei ini menggunakan metode campuran, yaitu kuantitatif dan kualitatif melalui Focus Group Discussion (FGD).
Pada metode kuantitatif, survei diikuti oleh 1.101 mahasiswa berusia 16-25 tahun dari 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024. Pengambilan sampel menggunakan dua teknik sampel yaitu non-probability sampling dan snowball sampling, menghasilkan kesimpulan dengan tingkat kepercayaan hingga 98%.
Berdasarkan survei, sekitar 53,95% mahasiswa menyatakan tidak akan memilih calon pemimpin yang melakukan praktik money politic, meskipun 42,96% di antaranya menyatakan akan menerima uang dari praktik tersebut.
Survei juga mengindikasikan bahwa penerimaan politik uang di kalangan mahasiswa terkait dengan Status Sosial Ekonomi (SSE). Semakin tinggi SSE, praktik money politic semakin tidak berpengaruh karena responden semakin menyadari bahwa uang tidak akan mampu memengaruhi keputusan mereka..
Mahasiswa yang menerima politik uang dan memilih tokohnya paling banyak berasal dari golongan yang memiliki ekonomi rendah (29,21%), di tingkat ekonomi menengah (15,89%), dan mahasiswa dengan ekonomi baik (15,04%).
Temuan lainnya menyatakan bahwa tingkat pesimisme terhadap hilangnya money politic dalam kontes politik mencapai 65,73%. Meski begitu, optimisme untuk menghilangkan praktik politik uang harus terus dibangun, menurut Sofyan Herbowo, Director of Public Affairs Praxis dan Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI).
Melihat kajian survei berkelanjutan, mahasiswa cenderung menunjukkan tindakan atau respon yang positif dan bijak dengan tidak mendukung praktik politik uang pada Pemilu 2024 mendatang. Oleh karena itu, penyelenggaraan diskusi politik dapat menjadi suatu opsi yang layak.
Sebagai kesimpulan, money politic adalah praktik penggunaan dana atau sumber daya keuangan secara tidak etis atau tidak sah untuk mempengaruhi proses politik atau pemilihan umum. Dalam konteks politik, uang dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan, membiayai kampanye, atau mempengaruhi keputusan politik.
Selain itu money politic sering kali dianggap sebagai bentuk korupsi dan dapat merongrong prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya didasarkan pada partisipasi yang adil dan setara tanpa pengaruh finansial yang berlebihan.
Jadi praktik money politic adalah hal terlarang yang sebaiknya di hindari karena dapat mengakibatkan ketidaksetaraan akses terhadap wakil politik dan merusak integritas sistem politik.