Unaaha, Akalami.com – Rumah adat Sulawesi Selatan tidak hanya berperan sebagai tempat tinggal, melainkan sebuah perwujudan luhur budaya dan tradisi masyarakatnya.
Di Sulawesi Selatan, enam jenis rumah adat pada artikel inilah yang paling menonjol dengan karakteristiknya yang memikat, mencerminkan keberagaman suku dan mematuhi adat istiadat yang dijunjung tinggi.
Adat yang tidak hanya sekedar menjadi panduan konstruksi, melainkan menandai langkah-langkah kehidupan sehari-hari dengan kearifan dan keteladanan.
Berikut rumah adat di Sulawesi Selatan yang perlu kamu tahu, diantaranya:
1. Tongkonan
Tongkonan (ᨈᨚᨃᨚᨊ) adalah rumah adat masyarakat suku Toraja di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Meskipun tidak lagi dihuni sebagai tempat tinggal utama, arsitektur tongkonan tetap menarik perhatian dengan struktur bawah, tengah, dan atas yang memancarkan keindahan estetika.
Artikel ini menjelaskan secara rinci aspek-aspek seperti pengertian, struktur, fungsi, dan makna tongkonan dalam kehidupan masyarakat Toraja.
1.1 Pengertian Tongkonan
Tongkonan dalam bahasa Toraja berarti tempat duduk, dan merupakan rumah panggung tradisional berbentuk persegi empat panjang.Bangunan dibuat sebagai rumah panggung agar terhindar dari gangguan binatang buas.
1.2 Struktur Bangunan Tongkonan
Arsitektur tongkonan terdiri dari struktur bawah (sulluk banua), tengah (kale banua), dan atas (rantiang banua) dengan keindahan estetika yang unik.
Mekanika sistem struktur memunculkan sistem estetika arsitektural, dengan struktur jamak dan kerangka sebagai elemen utama. Konstruksi menggunakan material bambu dan kayu tanpa unsur logam seperti paku.
1.3 Fungsi dan Makna Tongkonan
Tongkonan tidak hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai pusat budaya, pembinaan keluarga, dan tempat melaksanakan upacara-upacara keagamaan.
Tongkonan dijaga oleh seseorang yang membayar pajak dan mengorganisir upacara-upacara keluarga. Fungsi melibatkan pusat dinamisator, motivator, dan stabilisator sosial serta pembinaan kegotongroyongan.
Makna tongkonan melibatkan lambang status sosial pemilik yang menempati lapisan atas, serta simbol keluarga dan martabat orang Toraja.
1.4 Bagian Rumah Tongkonan
Tongkonan terbagi menjadi ruang depan (Tangdo’), ruang tengah (Sali), dan ruang belakang (Sumbung). Setiap ruang memiliki fungsi tertentu dalam pelaksanaan upacara adat dan pemujaan.
1.5 Orientasi dan Filosofi
Tongkonan harus menghadap ke utara, dengan keyakinan bahwa bumi dan langit merupakan satu kesatuan yang dibagi dalam empat penjuru.
Bagian utara dianggap paling mulia, sementara bagian selatan sebagai tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik.
1.6 Perubahan dan Renovasi
Meskipun beberapa bagian mengalami perubahan seperti atap seng dan ukiran yang lebih modern, tetapi rumah Tongkonan tetap mempertahankan bentuk aslinya.
Biaya renovasi rumah adat suku Toraja ini sangat besar, bisa mencapai sekitar Rp 1 Miliar dan saat ini Tongkonan lebih sering digunakan sebagai tempat menerima tamu daripada sebagai tempat tinggal.
Dengan demikian, Tongkonan tidak hanya mewakili aspek arsitektur tradisional, tetapi juga memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, keagamaan, dan budaya masyarakat Toraja.
Baca Juga: 6 Baju Adat Suku Bugis Serta Perlengkapan dan Aksesorisnya
2. Balla Lompoa
Rumah adat Sulawesi Selatan berikutnya adalah Balla Lompoa. Rumah adat ini berasal dari suku Makassar yang menetap di pesisir barat daya Sulawesi Selatan, Indonesia.
Serupa dengan rumah adat lainnya, Balla Lompoa pada masa lalu berfungsi sebagai tempat tinggal bagi kaum bangsawan suku Makassar.
2.1 Arsitektur Tradisional
Rumah adat suku Makassar Balla Lompoa mengusung konsep tradisional rumah panggung dengan pembagian arsitektur menjadi tiga bagian utama: atap, inti rumah, dan kolong.
Material utama yang digunakan pada rumah adat ini adalah berbagai jenis kayu, sementara atapnya terbuat dari ijuk atau jerami.
2.2 Struktur Bangunan
Ditenagai oleh sepuluh tiang penyangga, rumah Balla Lompoa memiliki dimensi yang luas dengan tinggi mencapai sekitar 3 meter.
Ruang dalamnya terbuka dan besar, dengan penataan khusus seperti dego-dego untuk teras, paddaserang dallekang sebagai ruang tamu, dan ruang keluarga di bagian tengah.
Terkhusus kamar tidur bagian belakang biasanya diperuntukkan untuk anak perempuan.
2.3 Atap Bentuk Pelana
Atap rumah Balla Lompoa berbentuk pelana dengan ujung lancip menghadap ke bawah. Material atap dapat berupa ijuk, bambu, rumbia, atau nipah. Bagian pucuk atap memiliki segitiga yang disebut Timbaksela.
2.4 Makna Simbolis
Segitiga Timbaksela menjadi penanda status pemilik rumah. Segitiga yang tidak disusun secara beraturan mencerminkan rumah orang biasa, sementara susunan bertingkat menandakan pemiliknya adalah bangsawan.
Jumlah Timbaksela yang lebih dari tiga menunjukkan bahwa pemilik rumah adalah seorang bangsawan yang memiliki jabatan dalam pemerintahan.
Rumah adat Makassar tidak hanya memancarkan keindahan arsitektur tradisional, tetapi juga menggambarkan status sosial dan jabatan pemiliknya dengan simbol-simbol yang terkandung di dalamnya.
Dengan keunikan ini, rumah adat Balla Lompoa menjadi warisan budaya yang mencerminkan kekayaan tradisi suku Makassar.
3. Bola Ugi
Selain baju Bodo, Rumah adat Bola Ugi atau dikenal juga dengan nama Rumah Bugis merupakan simbol tradisional masyarakat suku Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.
Berbeda dengan rumah bangsawan yang di sebut Saoraja, Bola Ugi menjadi tempat tinggal sehari-hari bagi orang Bugis dari golongan rakyat biasa atau non bangsawan.
3.1 Arsitektur Rumah
Rumah adat suku Bugis Bola Ugi memiliki bentuk rumah panggung dari kayu dengan persegi panjang dan tiang-tiang tinggi sebagai penopang.
Atapnya berbentuk pelana, namun variasi bentuk dapat ditemui dalam rumah-rumah Bugis, seperti Rumah Luwu, Rumah Bone, dan Rumah Wajo.
Perubahan sosial-budaya telah memengaruhi keberadaan Bola Ugi, di mana rumah tradisional ini kini juga dibangun dengan lantai batu, terutama di daerah perkotaan.
3.2 Struktur Bangunan
Struktur Bola Ugi dapat dibagi secara vertikal menjadi tiga bagian: subola (bagian bawah), watang pola (bagian tengah), dan rakkeang (bagian atas).
Masing-masing bagian memiliki fungsi berbeda, seperti subola yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan rakkeang yang digunakan untuk menyimpan barang berharga dan persediaan.
Secara horizontal, Bola Ugi terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya :
- Lego-lego (Teras bagian depan).
- Possi’ bola (Titik tengah bangunan rumah).
- Laleng pola (rumah bagian dalam).
- Bola annasung (Bagian belakang yang umumnya berfungsi sebagai dapur).
3.3 Keunikan Bola Ugi
Meskipun rumah panggung umum ditemukan di Indonesia, Bola Ugi memiliki perbedaan khas. Rumah ini memanjang ke belakang dengan bagian tambahan di samping dan depan bangunan, dikenal sebagai lego-lego oleh masyarakat Bugis.
3.4 Simbol Status Sosial
Bagian unik lainnya adalah timpalaja, bidang segitiga atau gevel di antara dinding dan atap. Jumlah susunan timpalaja dapat menunjukkan status sosial pemilik rumah, di mana tiga atau lima susun menandakan pemilik rumah berasal dari golongan elite.
3.5 Filosofi Bola Ugi
Bola Ugi bukan sekadar bangunan fisik, di dalamnya terdapat filosofi mengenai keselarasan hidup manusia.
Sanro Bola, individu dengan pemahaman mendalam akan nilai, makna, cara, dan aturan dalam Bola Ugi memiliki peran penting dalam pencarian keselarasan hidup antara manusia, Tuhan, alam, dan sesamanya.
3.6 Upacara Adat
Masyarakat Bugis melibatkan serangkaian upacara adat terkait Bola Ugi. Mulai dari Makkarawa Bola yang melibatkan doa restu pada bahan-bahan material hingga upacara Menre Bola yang melibatkan keluarga dan tetangga dalam proses pindah ke rumah baru.
3.7 Hiasan dan Filosofi
Hiasan rumah Bola Ugi mencakup motif hewan seperti ayam jantan, kerbau, dan ular naga. Serta motif tumbuhan seperti bunga parenreng dan belo-belo cirik-ciring.
Setiap motif memiliki makna filosofis, seperti kesuburan, kemakmuran, dan kekuatan dahsyat.
3.8 Arah Rumah dan Nilai Filosofis
Penentuan arah rumah juga memiliki nilai filosofis. Membangun rumah ke arah Timur dan Barat diartikan sebagai simbol limpahan rezeki dan keselamatan dunia akhirat.
Rumah yang berlokasi di perbukitan diarahkan ke dataran yang lebih tinggi sebagai tanda hormat kepada pegunungan, sumber kehidupan masyarakat.
Rumah adat Bola Ugi adalah simbol keberagaman budaya di Sulawesi Selatan, mencerminkan keseimbangan alam dan manusia serta filosofi mendalam yang diwariskan melalui generasi.
4. Saoraja
Rumah adat di Sulawesi Selatan berikutnya adalah Saoraja, yang bermakna kediaman Sang Raja. Ini dipengaruhi oleh fakta bahwa rumah adat Bugis awalnya merupakan tempat tinggal bagi raja yang mengelola tatanan pemerintahan kerajaan.
Kutipan dari buku “Makna Filosofis dan Keunikan Rumah Adat Sulawesi Selatan” menyatakan bahwa bagi masyarakat Bugis, rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan pusat siklus kehidupan.
Ini adalah tempat kelahiran, pembesaran, pernikahan, dan kematian. Mari kita telusuri lebih jauh keunikan rumah adat Bugis.
4.1 Makna Filosofis Saoraja
Rumah adat Bugis Saoraja memancarkan keunikan dengan mengandung makna filosofis. Masyarakat Bugis memiliki pandangan unik terhadap nilai-nilai estetis dan filosofis yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Rumah adat Bugis menyerupai anatomi tubuh manusia dan menempati area persegi, dianggap sebagai alam semesta (sulapa’ eppa’).
Makna dalam rumah adat Sulawesi Selatan suku Bugis mencakup Bonting langi (Atap rumah dengan rongga yang melambangkan perkawinan di atas langit), Ale kawaq (bagian tengah rumah yang menggambarkan kondisi bumi pertiwi), dan Buri liy (bagian kolong atau bawah rumah sebagai simbol dunia bawah tanah dan laut).
4.2 Struktur Bangunan
Rumah adat Bugis Saoraja menampilkan keunikan dengan struktur yang menyerupai tubuh manusia, terbagi menjadi tiga bagian diantaranya kaki, badan, dan kepala.
- Rakkeang, ruang atap sebagai tempat penyimpanan barang pangan dan benda pusaka.
- Alebola atau Watangmpola, badan rumah berfungsi sebagai ruang hunian untuk berbagai kegiatan sehari-hari.
- Awabola, kolong rumah berfungsi sebagai tempat bersantai, bermain, atau menyimpan alat-alat pertanian dan binatang ternak.
4.3 Ciri Khas Saoraja
Rumah adat Saoraja ini menggunakan konsep rumah panggung dari berbagai jenis kayu.
Ciri khasnya terletak pada atap berbentuk pelana dengan timpalaja, jumlahnya disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Timpa Laja atau gevel ini merupakan bidang segitiga antara dinding dan pertemuan atap.
Selain itu, ciri khas lainnya dapat dilihat dari jumlah susunan timba silla/tambulayang, menunjukkan derajat sosial pemilik rumah.
5. Langkanae
Rumah adat Luwu yang bernama Langkanae pada dasarnya serupa dengan Saoraja yaitu rumah adat Bugis yang menjadi kediaman para kaum bangsawan.
Meski terdapat perbedaan, akan tetapi hal itu mungkin sangat tips, mengingat ikatan adat tradisi dan budaya keduanya berasal dari nenek moyang yang sama. Jadi sebagai penulis yang mewarisi darah dari keduanya saya tidak akan pernah membedakannya.
Akan tetapi berhubung pada bahasan rumah adat Bugis sebelumnya saya tidak menyertakan penjelasan tentang rumah bangsawan Bugis yaitu Saoraja, maka tidak ada salahnya saya sertakan pembahasannya pada bagian rumah adat tradisional Luwu yang bernama Langkanae ini.
Mungkin kamu bertanya kenapa? Karena sekali lagi ini bukanlah rumah umum masyarakat Sulawesi Selatan, sebagaimana rumah adat bangsawan Makassar yang sudah kita bahas dengan nama Balla Lompoa pada point 2 diatas.
5.1 Struktur Rumah dan Makna
Rumah adat Langkanae Luwu, dengan bentuk rumah persegi empat yang disebut Sulappa’Eppa, memiliki makna tersendiri. Bagian-bagian dalam bangunan rumah ini juga memiliki makna penting dalam kehidupan manusia.
Dalam susunan rumah panggung bersusun tiga, terdapat pembagian pada dunia atas (boting langi/rakkeang), dunia tengah (ale bola), dan dunia bawah (ale kawa/kolong).
Beberapa makna penting, seperti timpa laja’ sebagai simbol strata/kasta pemilik rumah, memperkaya filosofi rumah adat Langkanae Luwu.
5.2 Makna Tiga Tingkatan
Bentuk rumah adat Langkanae Luwu tersusun dari tiga tingkatan yang berbentuk “segi empat” atau Sulapa’ Eppa’, yang menyerupai belah ketupat.
Setiap tingkatan terhubung dengan kehidupan dunia manusia, meliputi dunia atas (boting langi’/rakkeang), dunia tengah (ale bola), dan dunia bawah (awa bola).
Rakkeang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi, anak gadis, dan kucing, sementara ale bola digunakan untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan awa bola/kolong, di zaman dulu, adalah tempat istirahat yang hanya bisa diakses oleh orang bangsawan.
5.3 Filosofi Persegi Empat
Persegi empat pada Langkanae diartikan dari empat komponen bumi, yaitu tanah, api, air, dan angin.
Keempat komponen ini juga diartikan sebagai karakter pada diri manusia, seperti tanah sebagai kesabaran, api sebagai amarah, air sebagai kekuatan, dan angin sebagai keserakahan.
Filosofi ini menekankan pentingnya menyelaraskan keempat unsur tersebut dalam kehidupan.
5.4 Makna dan Simbolisme Tangga
Bagian yang memiliki makna sangat penting dalam rumah Langkanae adalah tangga (sapana). Tangga diartikan sebagai simbol rumah adat, dengan ketentuan bahwa tangga harus ganjil, tidak boleh genap, sebagai simbol hidup karena yang akan tinggal di rumah adalah mahluk hidup.
Ukiran kanji pada tangga diinterpretasikan sebagai perjanjian antara Tuhan, dengan makna yang sejalan dengan singkerru mulajaji, yang tidak memiliki awal dan akhir.
5.5 Peran Pim Posi
Pim posi’ dianggap sebagai tiang utama rumah yang memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Langkanae.
Sebagai tiang utama rumah panggung, pim posi’ mencerminkan keberlanjutan tradisi dalam pendirian rumah panggung.
6. Boyang Kayyang
Rumah adat di Sulawesi Selatan berikutnya adalah Boyang Kayyang, Mandar, Sulawesi Barat. Rumah adat suku Mandar ini menggambarkan sebuah keindahan arsitektur dan filosofi khas yang menjadi bagian integral dari budaya masyarakat suku Mandar.
Dibangun dengan penuh keahlian menggunakan bahan kayu terbaik, rumah Boyang memancarkan keunikan tidak hanya dari segi struktur fisiknya, tetapi juga dari makna filosofis yang mendalam yang terkandung di dalamnya.
6.1 Keunikan Boyang Kayyang
Saat kamu melihat rumah Boyang, mungkin terlihat serupa dengan rumah adat lain di Sulawesi. Namun, penelusuran lebih dalam membuka tabir keistimewaan rumah adat Mandar.
Buku Arsitektur Mandar Sulawesi Barat (2018) mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis rumah Boyang, yakni Boyang Adaq dan Boyang Beasa.
6.2 Boyang Adaq dan Boyang Beasa
Rumah Boyang Adaq ditempati oleh kaum bangsawan, sementara Boyang Beasa ditempati oleh masyarakat umum.
Meskipun secara arsitektur keduanya tampak serupa, perbedaan muncul pada ornamen-ornamen, seperti Tumbaq Lajar (penutup bubungan) dan anak tangga. Tumbaq Lajar pada Boyang Adaq tersusun bertingkat yang mencerminkan tingkat kebangsawanan pemilik rumah.
6.3 Ornamen Boyang Adaq
Ornamen pada rumah adat ini disusun dengan terstruktur dan menjadi penanda status sosial.
Filosofi ini bahkan memiliki konsekuensi hukum, seperti pada masa pemerintahan Arajang Balanipa, di mana penggunaan Tumbaq Lajar melebihi kadar kebangsawanan bisa mengakibatkan penggusuran rumah.
6.4 Struktur Boyang Kayyang
Rumah adat Mandar memiliki struktur yang mencengangkan, memperlihatkan keterampilan dan kebijaksanaan masyarakat suku Mandar dalam memanfaatkan lingkungan sekitar.
Berbentuk segi empat, berdiri megah di atas tiang-tiang tinggi dengan balok-balok besar, rumah Boyang adalah karya seni yang tidak hanya estetis tetapi juga fungsional.
Struktur bangunan dari atas ke bawah terdiri dari Tapang (atap dan loteng), Roang Boyang (tempat penghuni), dan Naong Boyang (bagian kolong). Setiap bagian memiliki peran dan makna tersendiri dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mandar.
6.5 Unsur Utama Boyang Kayyang
- Samboyang merupakan bagian depan rumah yang berfungsi sebagai ruang tamu. Pada acara hajatan, ruang ini menjadi tempat berkumpul para pria.
- Tangnga Boyang sebagai ruang keluarga, menjadi pusat kegiatan dan interaksi sosial di antara anggota keluarga.
- Bui’ Boyang adalah bagian paling dalam, diperuntukkan untuk orang tua dan anak perempuan. Hal ini mencerminkan kodrat anak gadis yang membutuhkan perlindungan.
6.6 Filosofi Boyang Kayyang
Selain keunikan struktural, rumah adat Mandar juga mengandung filosofi dan nilai-nilai budaya. Tidak hanya sebatas simbol kebangsawanan dan estetika, rumah Boyang menjadi cermin nilai moral, keadilan, dan persatuan yang dikedepankan oleh masyarakat Mandar.
Filosofi rumah Boyang mencerminkan pentingnya dua unsur tak terpisahkan, yaitu hukum dan demokrasi, serta tiga aspek yang saling membutuhkan, yaitu ekonomi, keadilan, dan persatuan.
Ini menggambarkan kesadaran tinggi suku Mandar dalam menjunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Rumah adat Mandar bukan sekadar sebuah struktur fisik namun ini adalah sebuah warisan berharga yang mencerminkan kearifan lokal, keindahan seni arsitektur, dan filosofi mendalam yang menjadi pilar masyarakat suku Mandar.
Dalam keunikan dan kompleksitasnya, rumah Boyang mengajarkan kita tentang bagaimana nilai-nilai dapat diwujudkan dalam bentuk fisik, menciptakan rumah yang bukan hanya tempat tinggal tetapi juga penjaga kearifan dan identitas budaya.
Persamaan Rumah adat di Sulawesi Selatan
Ada beberapa persamaan rumah adat di Sulawesi Selatan khususnya Luwu, Bugis, dan Mandar, diantaranya:
- Arsitektur Panggung Megah: Keduanya memiliki struktur arsitektur panggung yang megah, dengan tiang-tiang penopang yang tinggi menjulang. Hal ini mencerminkan keanggunan dan kekokohan bangunan yang mewakili kebangsawanan.
- Makna Simbolis dalam Bangunan: Baik Langkanae’, Bola Sobba/Saoraja, maupun Boyang memiliki makna simbolis dalam setiap elemen bangunannya. Simbol-simbol ini mencerminkan nilai-nilai budaya, strata sosial, dan filosofi hidup masyarakat setempat.
- Fungsi Ruang yang Terdalam: Semua rumah adat memiliki bagian terdalam yang memiliki fungsi penting. Rakkeang pada Langkanae’, Roang Boyang pada Boyang, dan bagian tengah pada Bola Sobba/Saoraja, semuanya mencerminkan ruang yang dihormati dan digunakan untuk kegiatan penting.
Perbedaan Rumah adat di Sulawesi Selatan
Selain persamaan, ada juga beberapa perbedaan mendasar dari rumah adat Sulawesi Selatan khususnya Luwu, Bugis, dan Mandar, seperti:
- Filosofi Empat Komponen Bumi dan Anatomi Manusia: Langkanae’ menggunakan filosofi empat komponen bumi dan karakter manusia, Saoraja menyerupai anatomi manusia, sementara Boyang memiliki filosofi yang mencerminkan dua tak terpisahkan (hukum dan demokrasi) dan tiga saling membutuhkan (ekonomi, keadilan, dan persatuan).
- Ornamen Unik dan Status Sosial: Bola Sobba/Saoraja menambahkan ornamen khusus, seperti Tumbaq Lajar, untuk menandakan status sosial pemilik rumah. Boyang Adaq dan Boyang Beasa memiliki perbedaan ornamen yang menunjukkan status sosial.
- Struktur dan Fungsi Ruang yang Berbeda: Meskipun memiliki kesamaan dalam struktur panggung, rumah-rumah adat memiliki perbedaan dalam fungsi ruang dan ornamen yang menunjukkan status sosial.
Dalam perbandingan tersebut, kita melihat bahwa Rumah Adat Langkanae’ dari Luwu, Bola Sobba/Saoraja dari Bugis, dan Rumah Boyang dari Mandar, meskipun memiliki arsitektur panggung yang megah, memiliki keunikan dalam simbolisme, filosofi, dan ornamen yang mencerminkan identitas budaya dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Semua rumah adat ini menjadi warisan budaya yang kaya dan berharga, menunjukkan keberagaman tradisi di Sulawesi Selatan.
Kesimpulan
Demikianlah Pembahasan Terkait Rumah adat Sulawesi Selatan, dengan keberagaman dan keunikan arsitektur serta makna filosofis di setiap elemennya,
Tentunya hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Indonesia yang patut untuk dipelajari dan selalu dijaga kelestariannya.
Baca Juga: 33 Tempat Wisata di Sulawesi Selatan Untuk Liburan Luar Biasa